Minggu, 20 Maret 2011

Contoh Makalah Matematika Alat Peraga




Anda Mahasiswa semester 1,2,3 dan 4, Jika Ia, saya yakin tugas membuat makalah adalah hal keseharian yang harus kalian lakukan dan kerjakan. Apalagi anda termasuk dalam jurusan Ilmu Sosial, seperti Pendidikan IPS Sejarah, IPS Geografi, Ilmu Pendidikan, dan FISIP.

Membuat Makalah tidak hanya untuk kalangan Mahasiswa saja, Anak SMA pun pasti tidak terlepas dari Tugas Makalah, ya kan.


Terkadang mungkin teman-teman bingung, seperti apa contoh makalah itu, bagaimana bentuk formatnya, tata cara penulisannya, dan lain sebagainya. Di sini saya mencoba untuk sedikit memberi bantuan kepada rekan-rekan sebuah contoh makalah. Semoga dapat membantu.

MAKALAH TENTANG MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SD MELALUI  PENGGUNAAN ALAT PERAGA

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Menurut Mujiono (1994:31) dalam proses belajar mengajar ada empat komponen penting yang berpengaruh bagi keberhasilan belajar siswa, yaitu bahan belajar, suasana belajar, media dan sumber belajar, serta guru sebagai subyek pembelajaran. Komponen-komponen tersebut sangat penting dalam proses belajar, sehingga melemahnya satu atau lebih komponen dapat menghambat tercapainya tujuan belajar yang optimal.

Media sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar dan sumber belajar yang digunakan dalam pembelajaran dipilih atas dasar tujuan dan bahan pelajaran yang telah ditetapkan, oleh karena itu guru sebagai subyek pembelajaran harus dapat memilih media dan sumber belajar yang tepat, sehingga bahan pelajaran yang disampaikan dapat diterima siswa dengan baik.

Konsep-konsep dalam matematika itu abstrak, sedangkan umumnya siswa berpikir dari hal-hal yang konkret menuju hal-hal yang abstrak, maka salah satu jembatannya agar siswa mampu berpikir abstrak tentang matematika, adalah dengan menggunakan media pendidikan dan alat peraga. Sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual anak SD yang masih dalam tahap operasi konkret, maka siswa SD dapat menerima konsep-konsep matematika yang abstrak melalui benda benda konkret.

Untuk membantu hal tersebut dilakukan manipulasi-manipulasi obyek yang digunakan untuk belajar matematika yang lazim disebut alat peraga. Ketrampilan berhitung merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika. Dengan adanya media pendidikan atau alat peraga siswa akan lebih banyak mengikuti pelajaran matematika dengan senang dan gembira sehingga minatnya dalam mempelajari matematika semakin besar. Siswa akan senang tertarik, terangsang dan bersikap positif terhadap pembelajaran matematika.

B. Rumusan masalah

Dari latar belakang di atas dapat diambil suatu permasalahan yang dihadapi yakni seberapa pentingkah penggunaan alat peraga dalam meningkatan hasil belajar matematika melalui proses belajar mengajar.

C. Tujuan Penulisan

Karena begitu pentingnya peninjauan terhadap peningkatan kualitas pendidikan sebagai aset di masa depan. Pendidikan memiliki peran penting yang menjadi tonggak dasar kemajuan suatu bangsa. Karena begitu pentingnya pendidikan maka perlu suatu terobosan dalam melakukan pembelajaran. Salah satunya adalah dengan menggunakan alat peraga dalam membelajarkan materi matematikan.

Melihat begitu urgennya  dan dalam memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Matematika maka tulisan ini dibuat. Tujuan utamanya adalah agar penulis secara pribadi dan calon guru pada umumnya mampu memahami pentingnya alat peraga dalam menanamkan konsep matematika. Tentu  harapannya adalah implementasi dari suatu ilmu yang akan sangat bermanfaat dalam melaksanakan pembelajaran.


BAB II
PEMBAHASAN


Belajar menurut Sudjana (1989:28) adalah proses ditandai dengan adanya perbuahan-perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahamannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek individu.

Belajar adalah suatu proses aktif, dimana terjadi hubungan saling mempengaruhi secara dinamis antara siswa dengan lingkungan. Belajar senantiasa harus bertujuan, terarah, dan jelas bagi siswa, karena tujuan akan menuntut dalam belajar. Belajar memerlukan bimbingan, baik dari guru atau tuntunan dari buku pelajaran. Jenis belajar yang paling utama adalah untuk berpikir kritis, lebih baik dari pada pembentukan kebiasaan-kebiasaan mekanis. Belajar berhasil apabila pelajar telah sanggup mentrasferkan atau menerapkan ke dalam bidang praktek sehari-hari.

Faktor-faktor dalam pembelajaran antara lain udara, cuaca, waktu, tempat dan gedung, alat-alat, buku dan sebagainya. Semua faktor yang termasuk golongan ini perlu dilengkapi dan diatur mengingat situasi dan kondisi tempat.

Motivasi adalah suatu tingkah laku atau kegiatan dalam rangka mengembangkan diri baik dalam aspek kognitif, psikomotor, maupun sikap. Motivasi berfungsi sebagai motor penggerak aktivitas bila motornya tidak ada maka aktivitastidak akan terjadi. Motivasi belajar berkaitan erat dengan tujuan yang hendak dicapai oleh individu yang sedang belajar itu sendiri.

Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur struktur
matematika yang terdapat dalam materi-materi yang dipelajari serta menjalankan hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur itu. Lain dari itu peserta didik lebih mudah mengingat matematika itu, bila yang dipelajari merupakan pola yang terstruktur. ”Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar matematika mempunyai empat aspek yaitu fakta, konsep, prinsip dan skill.

Fakta adalah sesuatu yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Contoh : simbol, angka, notasi. Konsep adalah ide abstrak yang dimungkinkan untuk mengelompokkan benda-benda (obyek) ke dalam contoh atau bukan contoh.

Konsep memiliki tiga dimensi yaitu :

1) Internalisasi pengembangan pola mental yang memberikan pada kita
untuk merasakan dan menggunakan konsep tersebut.
2) Verbalisasi atau kemampuan mendefinisikan konsep tersebut.
3) Nama. artinya mengetahui nama yang memberikan pada konsep-konsep
tersebut. Contoh konsep adalah persegi, persegi panjang, lingkaran.

Prinsip sebagai pola hubungan fungsional antara konsep-konsep, prinsip-prinsip
pokok disebut teorema yang disajikan dalam bentuk rumus. Contoh prinsip adalah penjumlahan dua bilangan real adalah komutatif, dua garis lurus yang tidak sejajar dan terletak dalam suatu bidang datar akan berpotongan di satu titik. Skill (keterampilan) adalah keterampilan mental untuk menjalankan prosedur dalam menyelesaikan masalah atau suatu kemampuan memberikan jawaban yang benar dan cepat. Contoh dari skill adalah kemampuan dapat menyelesaikan materi pengukuran luas daerah persegi dan persegi panjang.

Depdiknas (2004) memaparkan fungsi matematika sekolah adalah sebagai salah satu unsur masukan instrumental, yang memiliki obyek dasar abstrak dan berlandaskan kebenaran konsistensi, dalam sistem proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan sekolah.

Menurut Depdiknas (2004) tujuan umum diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah sebagai berikut.

1)   Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkambang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien.
2)  Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematila dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari., dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah memberi tekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta juga memberi tekanan pada keterampilan dan penerepan matematika.

Menurut Depdiknas (2004) tujuan pengajaran matematika di SD sebagai berikut.

1)   Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari).
2)   Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan, melalui kegiatan matematika.
3)   Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
4)   Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa siswa-siswa SD setelah selesai mempelajari matematika bukan saja diharapkan memiliki sikap kritis, jujur, cermat, dan cara berpikir logis dan rasional dalam menyelesaikan suatu masalah, melainkan juga harus mampu menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki pengetahuan matematika yang cukup kuat sebagai bekal untuk mempelajari matematika lebih lanjut dan dalam mempelajari ilmu-ilmu lain.

Pada dasarnya secara individual manusia itu berbeda-beda. Demikian pula dalam memahami konsep-konsep abstrak akan dicapai melalui tingkat-tingkat belajar yang berbeda. Suatu keyakinan bahwa anak belajar melalui dunia nyata menuju ke dunia abstrak dengan memanipulasi benda-benda nyata dapat digunakan sebagai perantaranya. Setiap konsep abstrak dalam matematika yang baru dipahami anak perlu segera diberikan penguatan supaya mengendap, melekat dan tahan lama tertanam, sehingga menjadi miliknya dalam pola pikir maupun pola tindakan.

Alat peraga merupakan bagian dari media pendidikan penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran yang telah dituangkan dalam Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) mata pelajaran matematika dan bertujuan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar.


Ada beberapa fungsi penggunaan alat peraga dalam pengajaran matematika, diantaranya sebagai berikut.
a.   Dengan adanya alat peraga, anak-anak akan lebih banyak mengikuti pelajaran matematika dengan gembira, sehingga minatnya dalam mempelajari matematika semakin besar. Anak senang, terangsang, kemudian tertarik dan bersikap positif terhadap pembelajaran matematika.
b.   Dengan disajikan konsep abstrak matematika dalam bentuk konkret, maka siswa pada tingkat-tingkat yang lebih rendah akan lebih mudah memahami dan mengerti.
c.   Anak akan menyadari adanya hubungan antara pembelajaran dengan benda-benda yang ada di sekitarnya, atau antara ilmu dengan alam sekitar dan masyarakat.
d.   Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkret, yaitu dalam bentuk model matematika dapat dijadikan obyek penelitian dan dapat pula dijadikan alat untuk penelitian ide-ide baru dan relasi-relasi baru.

 Dari uraian di atas dijelaskan bahwa penggunaan alat peraga dapat membantu kelancaran proses belajar mengajar. Alat peraga dapat mengatasi beberapa masalah pengajaran dan dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Akan tetapi ini sama dengan syarat kita untuk dapat memilih dan menggunakannya.

BAB III
KESIMPULAN


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan media pembelajaran berupa alat peraga pada proses pembelajaran Matematika sangat berpengaruh terhadap capaian hasil belajar siswa SD. Alat peraga tersebut akan mempermudah siswa dalam mengkonversi dari memahami matematika secara konkret menuju pemahaman yang abstrak

DAFTAR PUSTAKA



Depdiknas. 2004. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta : Depdiknas

Depdiknas. 2004. Garis-Garis Besar Program Pengajaran dan Penilaian Pada
     Sistem Semester tentang Satuan Pendidikan SD. Jakarta: Depdiknas Dirjen.

Hamalik, O. 1993. Metode dan Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito.

Hudojo. 1988. Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Mujiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud.

Purwanto, Ngalim. 1997. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Ruseffendi. 1997. Pendidikan Matematika 3. Jakarta : Uniersitas Terbuka.

Sardiman. 1992. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali
     Press.

Sudjana, N. 1989. Cara Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung:
     Lembaga Penelitian IKIP Band


Contoh Makalah
di atas dibuat oleh sahabat seperjuangan di kampus Hijau Universitas Lampung, Jurusan Pendidikan Matematika angkatan 2007, Saudara Iswan Waluyo. Semoga dapat bermanfaat, Terimakasih.

Selasa, 01 Maret 2011

Matematika Penting

APA DAN MENGAPA MATEMATIKA BEGITU PENTING?
Fadjar Shadiq, M.App.Sc
(fadjar_p3g@yahoo.com & www.fadjarp3g.wordpress.com)
Widyaiswara PPPPTK Matematika
Abstrak
Memformulasikan definisi Matematika tidaklah semudah yang dibayangkan.
Alasannya, definisi dan tujuan pembelajaran matematika di kelas akan selalu
menyesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Matematika tidak
seharusnya hanya berperan sebagai ‘saringan’ seperti yang berlaku selama
ini; namun kita harus memanfaatkan matematika agar para siswa kita dapat
bersaing dengan warga bangsa lain. Di samping itu, ada tuntutan yang
makin keras bahwa pembelajaran matematika di kelas tidak seharusnya
selalu deduktif namun sebaiknya dimulai secara induktif. Hal itu dilakukan
agar para siswa belajar mencerna ide-ide baru, mampu menyesuaikan diri
terhadap perubahan, mampu menangani ketidakpastian, mampu
menemukan keteraturan, dan mampu memecahkan masalah yang tidak
lazim. Definisi yang cocok dengan hal terakhir ini, matematika merupakan
ilmu yang membahas pola atau keteraturan. Tujuan pembelajaran
matematika yang sudah ditetapkan Depdiknas dan sudah sesuai dengan
kecenderungan terbaru perlu mendapat dukungan semua pihak. Contohnya,
soal-soal ujian matematika harus mendukung pencapaian tujuan
pembelajaran matematika di kelas.
Kata Kunci:
Kebenaran nisbi, kebutuhan siswa, pola (keteraturan), berpikir, dan bernalar.
Latar Belakang
Proses pembelajaran matematika di kelas akan sangat ditentukan oleh
pandangan seorang guru dan keyakinannya terhadap matematika itu sendiri.
Karenanya, ketidaksempurnaan memahami ‘matematika’ dari seorang guru
sedikit banyak akan menyebabkan ketidaksempurnaan pada proses
pembelajarannya di kelas. Kata lainnya, pandangan dan keyakinan yang
benar terhadap pengertian serta definisi matematika diharapkan akan dapat
membantu proses pembelajaran matematika yang lebih efektif, efisien, dan
sesuai dengan tuntutan zaman. Hal itulah yang ikut mendasari penulisan
artikel ini. Di samping itu, artikel ini didasari juga oleh judul buku teks
matematika yang sangat terkenal yang ditulis Courant & Courant pada 1981
dengan judul: “What is Mathematics”. Buku tersebut tidak membahas secara
khusus tentang apa itu matematika.
Pada intinya, pengertian matematika yang sesuai dengan tuntutan zaman
sangatlah penting dan menentukan keberhasilan pembelajarannya.
Masalahnya, jawaban pertanyaan ‘Apa itu Matematika’ tidaklah semudah
yang dibayangkan. De Lange (2005:8), seorang pakar pendidikan matematika
dari Freudenthal Institute (FI), suatu lembaga di Universitas Utrecht yang
sangat terkenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) menyatakan:
“‘What is mathematics?’ is not a simple question to answer.” Yang jelas,
faktanya adalah materi (content) matematika pada tahun 1900 jelas berbeda
dengan materi matematika pada tahun 2007. De Lange (2005:8) mencatat ada
2
sekitar 60 sampai 70 cabang matematika yang berbeda. Tidak hanya itu,
kebutuhan (needs) para siswa terhadap matematika pada tahun 1900 akan
sangat berbeda dengan kebutuhan para siswa terhadap matematika pada
saat sekarang. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya perubahan
definisi matematika, pembelajarannya, dan tujuan pembelajaran matematika
di kelas. Tujuan dan proses pembelajaran matematika di kelas akan berubah
sesuai perubahan waktu dan tuntutan perubahan kebutuhan siswa terhadap
matematika. Karenanya, tulisan ini diharapkan akan dapat memberikan
wawasan baru kepada para guru matematika sehingga diharapkan sedikit
demi sedikit akan ada perubahan pada proses pembelajaran di kelas ke arah
yang lebih baik dan menguntungkan bagi masa depan bangsa ini.
Peran Penting Matematika
Pada masa-masa lalu dan mungkin juga sampai detik ini, tidak sedikit orang
tua dan orang awam yang beranggapan bahwa matematika dapat digunakan
untuk memprediksi keberhasilan seseorang. Menurut mereka, jika seorang
siswa berhasil mempelajari matematika dengan baik maka ia diprediksi akan
berhasil juga mempelajari mata pelajaran lain. Begitu juga sebaliknya,
seorang anak yang kesulitan mempelajari matematika akan kesulitan juga
mempelajari mata pelajaran lain. Peran penting matematika diakui Cockcroft
(1986:1) misalnya, yang menulis: “It would be very difficult – perhaps
impossible – to live a normal life in very many parts of the world in the
twentieth century without making use of mathematics of some kind.” Akan
sangat sulit atau tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di bagian
bumi ini pada abad ke-20 ini tanpa sedikitpun memanfaatkan matematika.
Dua puluh tahun lalu, NRC (National Research Council, 1989:1) dari Amerika
Serikat telah menyatakan pentingnya Matematika dengan pernyataan
berikut: “Mathematics is the key to opportunity.” Matematika adalah kunci ke
arah peluang-peluang. Masih menurut NRC, bagi seorang siswa keberhasilan
mempelajarinya akan membuka pintu karir yang cemerlang. Bagi para
warganegara, matematika akan menunjang pengambilan keputusan yang
tepat. Bagi suatu negara, matematika akan menyiapkan warganya untuk
bersaing dan berkompetisi di bidang ekonomi dan teknologi. Meskipun
demikian, ada pengakuan tulus juga dari para pakar pendidikan matematika
(NRC, 1989:3) bahwa sesungguhnya kemampuan membaca jauh lebih penting
dan lebih mendasar dari matematika.
Karena tingkat kesulitan mempelajarinya yang agak tinggi; matematika telah
menjadi syarat utama memasuki fakultas-fakultas favorit seperti kedokteran
dan teknik; sehingga sejak lama matematika dikenal sebagai saringan bagi
para siswa. Kenyataan di kelas menunjukkan bahwa tidak sedikit siswa yang
berhasil dengan mudah dan gemilang mempelajarinya namun masih banyak
juga yang tidak berhasil mempelajari mata pelajaran bergengsi tersebut.
Mengingat begitu pentingya matematika bagi setiap individu, masyarakat,
dan bangsa; pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah:
• Berapa prosen siswa Indonesia yang berhasil dengan gemilang
mempelajarinya.
• Berapa prosen siswa Indonesia yang tidak berhasil mempelajarinya.
3
• Jika banyak siswa yang tidak berhasil mempelajarinya, mampukah warga
bangsa ini bersaing dengan bangsa lain?
Di Amerika Serikat, NRC (1989:1-2) telah menyatakan bahwa “Three of every
four Americans stop studying mathematics before completing career or job
prerequisites.” Jika di AS saja hampir 75% siswa tidak mampu mempelajari
matematika sebelum menyelesaikan persyaratan memasuki pekerjaan dan
karirnya, lalu berapa prosen siswa di Indonesia yang tidak berhasil
mempelajarinya? Pertanyaan yang lebih tegas dan relevan untuk bangsa kita
sekarang ini adalah pertanyaan Thurow dalam NRC (1989:1) berikut: ''How
can students compete in a mathematical society when they leave school
knowing so little mathematics?" Pada akhirnya kita harus sependapat bahwa
Bangsa dan Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan kelebihan
matematika agar bangsa ini dapat ikut berperan aktif dalam persaingan
global. Pembelajaran matematika harus diberi peran yang lebih besar
sehingga ia tidak hanya menjadi saringan untuk masa depan para siswa,
namun kita harus memanfaatkan matematika agar para siswa kita dapat
bersaing dengan warga bangsa lain. Mengingat begitu pentingnya matematika
bagi setiap individu, masyarakat, dan bangsa maka judul artikel ini akan
menjadi menarik, apalagi setiap orang akan memiliki jawaban yang mungkin
sama namun namun mugkin juga berbeda.
Matematika sebagai Ilmu Pasti?
Jika Anda mengajukan pertanyaan: ‘Apa sih matematika itu?’ kepada
seseorang, apa jawaban mereka? Kemungkinan jawaban mereka adalah: (1)
‘Matematika adalah pelajaran tentang bilangan atau hitung menghitung,’
atau (2) ‘Matematika adalah pelajaran tentang bangun datar dan ruang.’ Jika
Anda beruntung maka kemungkinan jawabannya adalah: (3) ‘Matematika
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang bilangan dan bangun
(datar dan ruang). Tentunya, jawaban seperti itu lebih banyak dipengaruhi
pengalaman mereka ketika mempelajari matematika atau berhitung di
sekolah. Pada zaman penjajahan dahulu, para insinyur harus menguasai
dengan baik tabel logaritma yang dinyatakan sampai dengan delapan atau
sepuluh desimal serta harus menguasai penggunaan mistar hitung sebagai
alat bantu untuk melakukan operasi pada dua bilangan atau lebih, seperti
menentukan hasil 21.567 × 4.567. Dengan alat mistar hitung tersebut, untuk
menentukan hasil perkaliannya adalah dengan mengubah ke bentuk
penjumlahan dengan bantuan konsep logaritma. Namun pada masa
sekarang, dengan adanya kalkulator dan komputer, mistar hitung seperti itu
tidak diperlukan lagi. Proses perhitungannya tinggal memencet tombol, lalu
keluarlah hasilnya di monitor.
Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang berarti
‘belajar atau hal yang dipelajari’, sedang dalam bahasa Belanda disebut
wiskunde atau ‘ilmu pasti’. Di Indonesia, matematika pernah disebut ilmu
pasti. Mengapa ia disebut ilmu pasti? Jawaban pertanyaan terakhir berkait
dengan istilah penalaran (reasoning). Dikenal dua macam penalaran, yaitu
penalaran induktif (induksi) dan penalaran deduktif (deduksi). Induksi
merupakan suatu proses berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat
suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general) berdasar pada beberapa
4
pernyataan khusus yang diketahui benar. Contoh induksi adalah: Jika dari
beberapa kasus khusus seperti: (1) besi dipanasi memuai, (2) aluminium
dipanasi memuai, (3) timah dipanasi memuai, (4) seng dipanasi memuai, dan
seterusnya sehingga disimpulkan bahwa semua logam jika dipanasi memuai.
Perhatikan kata ‘semua’ yang menunjukkan bentuk umum (general) dari
kasus-kasus khusus tadi. Pernyataan bahwa semua logam jika dipanasi
memuai ini sampai saat ini bernilai benar karena tidak ada satupun logam
yang jika dipanasi tidak memuai. Teorema IPA banyak didasarkan pada
induksi. Nilai kebenaran teori tersebut bersifat relatif atau nisbi yang hanya
akan bernilai salah jika didapatkan suatu contoh sangkalan (counter
example).
Di matematika, pernyataan yang didapat dari proses induksi belum disebut
teorema sebelum dibuktikan secara deduktif. Hasil proses penarikan
kesimpulan melalui induksi ini di matematika hanya disebut dengan dugaan
(conjecture). Contoh tentang ‘dugaan’ ini dapat dikaitkan dengan seorang
matematikawan Rusia Christian Goldbach. Perhatikan beberapa kasus
khusus yang didapat Goldbach pada tahun 1742 berikut: 4 = 2 + 2, 6 = 3 + 3,
8 = 5 + 3, 10 = 5 + 5, 12 = 7 + 5, 14 = 7 + 7, 16 = 11 + 5, .... Kesamaan di atas
mengarah kepada suatu kesimpulan umum bahwa setiap bilangan asli genap
selain 2 dapat dinyatakan sebagai jumlah dua bilangan prima. Perhatikan
bahwa Goldbach telah menggunakan proses induksi. Ternyata, dari tahun
1742 sampai saat ini, pada satu sisinya tidak ada orang yang dapat
menunjukkan tentang adanya bilangan genap (selain 2) yang tidak dapat
dinyatakan sebagai jumlah dua buah bilangan prima sebagai suatu contoh
sangkalannya, namun pada sisi yang lain, belum ada matematikawan yang
dapat membuktikan kebenarannya secara deduktif, termasuk Goldbach
sendiri. Karena itu, sampai saat ini penemuan Goldbach tadi masih disebut
dugaan (conjecture).
Suatu bangunan matematika disusun dengan dasar pondasi berupa
kumpulan sifat pangkal (aksioma). Aksioma adalah semacam dalil atau
teorema yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan namum akan dijadikan
dasar untuk membuktikan dalil atau teorema matematika selanjutnya.
Karenanya, Jacobs (1982: 32) menyatakan: “Deductive reasoning is a method
of drawing conclusions from facts that we accept as true by using logic”.
Artinya, penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan dari
pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar dengan menggunakan
logika. Memang benar bahwa jika dibandingkan dengan teorema IPA, teorema
matematika sedikit lebih pasti atau kebenarannya lebih absolut karena ada
faktor pembuktian secara deduktif. Itulah sebabnya, pada zaman dahulu
matematika disebut ilmu pasti. Pertanyaan yang dapat diajukan sekarang
adalah: “Apakah benar teorema matematika memiliki nilai kebenaran yang
pasti (absolutism)?” Untuk menjawabnya, yang perlu diperhatikan, suatu
bangunan matematika akan runtuh jika terdapat sifat, dalil, atau teorema
yang diturunkan dari aksioma ada yang saling bertentangan (kontradiksi).
Pertanyaan yang sering diajukan para filusuf pada saat ini adalah: “Dapatkah
kita meyakinkan diri kita sendiri bahwa dari teorema matematika yang ada
sekarang jika dilanjutkan secara deduktif aksiomatis sehingga didapat
beberapa teorema baru lagi maka teorema baru tersebut tidak akan
bertentangan dengan aksioma atau teorema sebelumnya?” Karena kita tidak
5
dapat meyakinkan diri kita sendiri bahwa teorema baru tersebut tidak
bertentangan dengan aksioma atau teorema sebelumnya, maka para
matematikawan hampir sepakat juga bahwa nilai kebenaran teorema
matematika juga bersifat relatif atau nisbi seperti IPA. Berkait dengan
‘ketidak pastian’ matematika tidaklah berarti kita kehilangan pengetahuan
matematikanya seperti yang dinyatakan Ernest (1991:20) berikut: “The
rejection of absolutism should not be seen as a banishment of mathematics from
the garden of Eden, the realm of certainty and truth. The ‘lost of certainty’ does
not represent a loss of knowledge.”
Apa sih Matematika itu?
Contoh jawaban pertanyaan di atas yaitu matematika adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang bilangan dan bangun (datar dan
ruang) lebih menekankan pada materi matematikanya. Namun
kecenderungan pada saat ini, definisi matematika lebih dikaitkan dengan
kemampuan berpikir yang digunakan para matematikawan. NRC (1989:31)
menyatakan dengan singkat bahwa: “Mathematics is a science of patterns and
order.” Artinya, matematika adalah ilmu yang membahas pola atau
keteraturan (pattern) dan tingkatan (order). De Lange (2004:8) menyatakan
lebih terinci:
Mathematics could be seen as the language that describes patterns –
both patterns in nature and patterns invented by the human mind.
Those patterns can either be real or imagined, visual or mental, static
or dynamic, qualitative or quantitative, purely utilitarian or of little
more than recreational interest. They can arise from the world around
us, from depth of space and time, or from the inner workings of the
human mind.
Jelaslah sekarang bahwa matematika dapat dilihat sebagai bahasa yang
menjelaskan tentang pola – baik pola di alam dan maupun pola yang
ditemukan melalu pikiran. Pola-pola tersebut bisa berbentuk real (nyata)
maupun berbentuk imajinasi, dapat dilihat atau dapat dalam bentuk mental,
statis atau dinamis, kualitatif atau kuantitatif, asli berkait dengan kehidupan
nyata sehari-hari atau tidak lebih dari hanya sekedar untuk keperluan
rekreasi. Hal-hal tersebut dapat muncul dari lingkungan sekitar, dari
kedalaman ruang dan waktu, atau dari hasil pekerjaan pikiran insani.
Sekali lagi, perubahan definisi dan tuntutan perubahan proses pembelajaran
matematika di kelas tersebut merupakan penyesuaian atau mengantisipasi
perubahan kebutuhan siswa terhadap matematika. Di masa kini dan di masa
yang akan datang, kemampuan berpikir dan bernalar jauh lebih dibutuhkan.
Para siswa tidak hanya membutuhkan kemampuan berhitung dan geometri.
NRC (1989:1) telah menyatakan: “Communication has created a world economy
in which working smarter is more important …. Jobs that contribute to this
world economy require workers who are mentally fit—workers who are
prepared to absorb new ideas, to adapt to change, to cope with ambiguity, to
perceive patterns, and to solve unconventional problems.” Di masa kini dan
masa yang akan datang, di era komunikasi dan teknologi canggih,
dibutuhkan para pekerja cerdas (smarter) daripada pekerja keras (harder).
6
Dibutuhkkan para pekerja yang telah disiapkan untuk mampu mencerna ideide
baru (absorb new ideas), mampu menyesuaikan terhadap perubahan (to
adapt to change), mampu menangani ketidakpastian (cope with ambiguity),
mampu menemukan keteraturan (perceive patterns), dan mampu
memecahkan masalah yang tidak lazim (solve unconventional problems).
Untuk mencapai hal itu, beberapa kompetensi atau kemampuan yang
menurut De Lange (2004:12) harus dipelajari dan dikuasai para siswa selama
proses pembelajaran matematika di kelas adalah:
1. Berpikir dan bernalar secara matematis (mathematical thinking and
reasoning).
2. Berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation). Dalam
arti memahami pembuktian, mengetahui bagaimana membuktikan,
mengikuti dan menilai rangkaian argumentasi, memiliki kemampuan
menggunakan heuristics (strategi), dan menyusun argumentasi.
3. Berkomunikasi secara matematis (mathematical communication). Dapat
menyatakan pendapat dan ide secara lisan, tulisan, maupun bentuk lain
serta mempu memahami pendapat dan ide orang lain.
4. Pemodelan (modelling). Menyusun model matematika dari suatu keadaan
atau situasi, menginterpretasi model matematika dalam konteks lain atau
pada kenyataan sesungguhnya, bekerja dengan model-model, memvalidasi
model, serta menilai model matematika yang sudah disusun.
5. Penyusunan dan pemecahan masalah (problem posing and solving).
Menyusun, memformulasi, mendefinisikan, dan memecahkan masalah
dengan berbagai cara.
6. Representasi (representation). Membuat, mengartikan, mengubah,
membedakan, dan menginterpretasi representasi dan bentuk matematika
lain; serta memahami hubungan antar bentuk atau representasi tersebut.
7. Simbol (symbols). Menggunakan bahasa dan operasi yang menggunakan
simbol baik formal maupun teknis.
8. Alat dan teknologi (tools and technology). Menggunakan alat bantu dan alat
ukur, termasuk menggunakan dan mengaplikasikan teknologi jika
diperlukan.
Perhatikan kedelapan kompetensi yang ditawarkan De Lange di atas yang
menunjukkan pentingnya mempelajari matematika dalam menata
kemampuan berpikir para siswa, bernalar, memecahkan masalah,
berkomunikasi, mengaitkan materi matematika dengan keadaan
sesungguhnya, serta mampu menggunakan dan memanfaatkan teknologi.
Sumber-sumber lain menawarkan hal yang sama namun dengan formulasi
kalimat yang agak berbeda. Contohnya, National Council of Teachers of
Mathematics atau NCTM (2000), menyatakan bahwa standar matematika
sekolah meliputi standar isi (mathematical content) dan standar proses
(mathematical processes). Standar proses meliputi pemecahan masalah
(problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof),
katerkaitan (connections), komunikasi (communication), dan representasi
(representation).
7
Bagaimana Pembelajarannya?
Sebagaimana dinyatakan di atas, dikenal dua macam penalaran, yaitu
penalaran induktif dan deduktif. Berkait dengan penalaran induktif dan
deduktif ini, pernyataan George Polya (1973: VII) berikut sudah seharusnya
mendapat perhatian para guru matematika. Polya menyatakan bahwa: “Yes,
mathematics has two faces; it is the rigorous science of Euclid but it is also
something else. Mathematics presented in the Euclidean way appears as a
systematic, deductive science; but mathematics in the making appears as an
experimental, inductive science.” Pendapat Polya ini telah menunjukkan
bahwa matematika memiliki dua sisi. Pada satu sisinya matematika sebagai
hasil karya Euclides merupakan ilmu yang eksak, namun pada sisi yang lain,
sesungguhnya matematika memiliki hal lain. Matematika yang disajikan
dalam bentuk seperti hasil kerja Euclides muncul sebagai ilmu yang
sistematis dan deduktif. Akan tetapi, pada waktu proses ditemukan atau
dikembangkan matematika muncul sebagai ilmu yang mengunakan sifat
eksperimen dan induktif. Hal ini menunjukkan pengakuan Polya tentang
pentingnya penalaran induktif (induksi) dalam pengembangan matematika
dan secara tersirat pada proses pembelajarannya.
Di samping itu, Lakatos sebagaimana dikutip Burton (1992:2), telah membuat
pernyataan yang lebih keras: “Deductivist style hides the struggle, hides the
adventure. The whole story vanishes, the successive tentative formulations of
the theorem in the course of the proof-procedure are doomed to oblivion while
the end result is exalted into sacred infallibility” Artinya, cara deduktif telah
menyembunyikan perjuangan dan petualangan. Semua ceritera sudah usai,
urut-urutan yang bersifat tentatif atau nisbi dari formulasi teorema-teorema,
dalam pelajaran yang mengutamakan prosedur pembuktian telah dimatikan
ke arah yang tidak berarti, sedangkan hasilnya telah diagung-agungkan
sebagai suatu kebenaran yang tidak terbantahkan dan dikeramatkan. Hal ini
menunjukkan juga bahwa Lakatos tidak setuju dengan kemutlakan
kebenaran teorema matematika.
Sejalan dan tidak kalah dengan kecenderungan (trends) di atas, Depdiknas
(2006:388) telah menyatakan bahwa mata pelajaran matematika di SD, SMP,
SMA, dan SMK bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
8
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dengan tujuan pembelajaran matematika di atas jelaslah bahwa tujuan
tersebut telah sesuai dengan kecenderungan terbaru (the newest trends) di
bidang pendidikan matematika. Implikasinya, setiap pihak agar tidak raguragu
untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh arahan kurikulum yang
ada sehingga kelima tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik. Dengan
munculnya teori belajar terbaru yang dikenal dengan konstruktivisme,
menguatnya isu demokratisasi pendidikan, semakin canggihnya teknologi
informasi dan komunikasi, semakin dibutuhkannya kemampuan
memecahkan masalah dan berinvestigasi, dan semakin banyak dan cepatnya
penemuan teori-teori baru, maka pendekatan terbaru seperti Pendidikan
Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education), Pembelajaran
Berbasis Pemecahan Masalah (Problem Based Learning), Pembelajaran
Kooperatif (Cooperative Learning), Pembelajaran Aktif Efektif Kreatif dan
Menyenangkan (PAKEM), serta Pendekatan Pembelajaran Matematika
Kontekstual (Contextual Teaching & Learning) merupakan pendekatanpendekatan
yang sangat dianjurkan para pakar untuk digunakan selama
proses pembelajaran di kelas-kelas di Indonesia. Pada akhirnya, diharapkan
dengan kerja keras tersebut akan muncul para pemecah masalah yang
tangguh dan para penemu yang hebat dari bumi tercinta Indonesia ini.
Kesimpulan dan Saran
Pandangan seorang guru mengenai matematika sendiri akan sangat
menentukan proses pembelajarannya di kelas. Masalahnya,
memformulasikan definisi matematika tidaklah semudah yang dibayangkan.
Alasannya, definisi dan tujuan pembelajaran matematika di kelas akan selalu
menyesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Matematika memiliki
peran yang sangat penting, tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di
bagian bumi ini pada abad ke-20 ini tanpa sedikitpun memanfaatkan
matematika. Sejak lama matematika dikenal sebagai saringan bagi para
siswa. Meskipun demikian, tidak sedikit siswa yang tidak berhasil
mempelajarinya. Mengingat begitu pentingnya matematika maka tidak
seharusnya ia tidak hanya berperan sebagai ‘saringan’ namun ia harus
dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh agar para siswa kita dapat bersaing
dengan warga bangsa lain.
Bangunan matematika didasarkan pada kumpulan aksioma yang
kebenarannya tidak perlu dibuktikan. Jika dibandingkan dengan teorema
IPA, teorema matematika jauh lebih pasti dan lebih kokoh karena ada faktor
pembuktian secara deduktif. Namun bangunan kokoh tersebut akan runtuh
jika terdapat sifat, dalil, atau teorema yang diturunkan dari aksioma ada
yang saling bertentangan (kontradiksi). Meskipun bangunan itu kokoh,
namun kita tidak dapat meyakinkan diri kita sendiri bahwa setiap teorema
baru tidak akan bertentangan dengan aksioma atau teorema sebelumnya,
sehingga nilai kebenaran teorema matematika juga bersifat relatif atau nisbi
seperti IPA. Di samping itu, ada tuntutan yang makin keras bahwa
9
pembelajaran matematika di kelas tidak seharusnya selalu deduktif namun
sebaiknya dimulai secara induktif.
Matematika adalah ilmu yang membahas pola atau keteraturan. Seperti
halnya tuntutan untuk memanfaatkan penalaran induktif pada awal proses
pembelajaran, perubahan definisi matematika di atas bertujuan agar para
siswa belajar mencerna ide-ide baru, mampu menyesuaikan diri terhadap
perubahan, mampu menangani ketidakpastian, mampu menemukan
keteraturan, dan mampu memecahkan masalah yang tidak lazim. Beberapa
kompetensi yang disarankan para pakar di antaranya adalah para siswa
harus memiliki kemampuan memecahkan masalah, penalaran dan
pembuktian, katerkaitan, komunikasi, dan representasi. Sejalan dengan itu,
tujuan pembelajaran matematika yang ditetapkan Depdiknas sudah sesuai
dengan kecenderungan terbaru, yang meliputi kemampuan atau kompetensi:
(1) memahami konsep matematika, (2) menggunakan penalaran, (3)
memecahkan masalah, (4) mengomunikasikan gagasan, dan (5) memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Pendekatan
terbaru seperti Pendidikan Matematika Realistik ataupun Pembelajaran
Berbasis Pemecahan Masalah merupakan pendekatan atau pembelajaran
yang mendukung pencapaian tujuan di atas. Pada akhirnya, berdasar
beberapa kesimpulan di atas, ada dua saran yang dapat diajukan, yaitu:
1. Menjadi keharusan para guru matematika untuk memfasilitasi siswanya
agar mereka dapat meningkatkan kemampuan berpikirnya. Namun
mengubah kebiasaan guru ke arah yang dituntut kurikulun tidaklah
mudah. Yang dapat dilakukan PPPPTK Matematika maupun Peguruan
Tinggi maupun lembaga lain adalah menyusun dan menerbitkan bukubuku
pelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum, dalam arti buku
yang mendukung pembelajaran yang lebih menyenangkan, aktif, kreatif,
efisien, dan efektif.
2. Pembelajaran matematika seperti yang dituntut kurikulum tidak akan
berjalan sesuai dengan yang diharapkan jika soal-soal pada ujian tidak
menunjangnya. Alasannya, ke arah mana soal ujian menuju, ke arah
situlah proses pembelajarannya. Soal-soal TIMSS dan PISA seharusnya
dapat dijadikan acuan penyusunan soal ujian yang lebih kontekstual.
Pada akhirnya, dengan usaha keras semua pihak, diharapkan pada masamasa
yang akan datang bangsa ini akan mampu bersaing dengan bangsa
lain. Hal ini hanya akan terjadi jika proses pembelajaran di kelas telah sesuai
dengan tuntutan kurikulum.
10
Daftar Pustaka
Burton, L. (1992). Implications of constructivism for achievement in
mathematics. Pada buku: 7th International Congress on Mathematical
Education (ICME-7). Topic Group 10; Constructivist Interpretations of
Teaching and Learning Mathematics. Perth: Curtin University of
Technology.
Cockcroft, W.H (1986). Mathematics Counts. London: HMSO
Courant, R., Courant, H. (1981). What is Mathematics. Oxford University
Press: Oxford.
De Lange, J. (2004). Mathematical Literacy for Living from OECD-PISA
Perspective. Paris: OECD-PISA.
Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas
Ernest, P. (2001). The Philosophy of Mathematics Education. Hampshire (UK):
The Falmer Press.
Jacobs, H.R. (1982). Mathematics, A Human Endeavor (2nd Ed). San Fransisco:
W.H. Freeman and Company.
NCTM (2000) Principles and Standards for School Mathematics.
www.standard.nctm.org, 20 Mei 2003 jam 07.00.
NRC (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of
Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press.
Polya, G. (1973). How To Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University
Press.